M. ARSJAD TH. LUBIS (1908-1972), akrab disebut dengan Tuan Arsjad, merupakan ulama pergerakan yang setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia adalah ulama dari etnis Mandailing yang mendalam ilmunya berkat bimbingan sejumlah ulama di Sumatera Timur, terutama Syekh Hasan Ma’sum yang merupakan salah satu murid terbaik Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sebagai ulama, ia tidak abai terhadap persoalan sosial politik di Nusantara. Itulah mengapa ia sangat aktif dalam usaha merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Fatwa jihad yang disampaikannya beberapa bulan pasca kemerdekaan telah menumbuhkan semangat jihad membela tanah air di kalangan umat Islam sekaligus memunculkan kegerahan dan kegelisahan di kalangan pejabat Belanda dan para pembantunya terutama di Sumatera Utara.
Tidak diragukan lagi bahwa Tuan Arsjad telah mendedikasikan dirinya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan November 1945, ia kembali memimpin dan menerbitkan majalah Medan Islam setelah beberapa tahun berhenti terbit. Majalah ini kemudian dijadikan sebagai “terompet membela kemerdekaan dan sebagai penghubung kepada keluarga Al Jam’iyatul Washliyah dan umumnya rakyat Indonesia.” Majalah Medan Islam edisi kemerdekaan ini memuat “tuntunan perang sabil menurut ajaran Islam dan cara membaca doa qunut dalam salat untuk mendoakan kemenangan umat Islam dan kehancuran musuh (Sulaiman [ed.], 1956: 126).
Tidak hanya sampai di situ, Tuan Arsjad kemudian menulis dan menerbitkan buku berjudul Toentoenan Perang Sabil. Buku ini selesai ditulis pada tanggal 8 Februari 1946 masehi, atau 7 Rabi‘ul Awwal 1365 hijriah. Edisi perdana buku ini (yang dijadikan bacaan utama dalam penulisan artikel ini), diterbitkan oleh percetakan “Soeloeh Merdeka.” Dalam bagian awal (Permoelaan Kata), ia mengatakan bahwa “risalah Toentoenan Perang Sabil yang ringkas ini saya susunkan ialah berhubung dengan permintaan yang sangat dari kawan-kawan sebagai memenuhi hajat di saat yang genting ini, yaitu saat kita sedang menghadapi berbagai kemungkinan di jalan mempertahankan kemerdekaan tanah air kita dari nafsu kaum penjajah.” Buku ini diterbitkan setelah enam bulan usia kemerdekaan Indonesia.
Pada halaman 22, Tuan Arsjad menegaskan perihal ketetapan hukum perang melawan bangsa Belanda. Ia memfatwakan “… menurut paham dan pendirian saya, pertempuran dalam peperangan melawan bangsa Belanda dan pembantu-pembantunya yang hendak menguasai tanah air kita Indonesia ini, adalah termasuk dalam bahagian peperangan yang diridai Allah, peperangan yang melawan musuh-musuh Allah dan peperangan yang akan dapat mempertinggi kalimat Allah di Indonesia. Sebab itu, siapa yang turut dalam peperangan tersebut dengan niat yang ikhlas, dengan niat akan meninggikan kalimat Allah, dengan niat menuntut keridaan dan pahala dari pada Allah, dengan niat untuk membinasakan musuh-musuh Allah, maka adalah dia berperang itu di dalam sabîlillâh dan jikalau mati terbunuh, matinya syahîd fi sabîlillâh, surga menjadi tempatnya. Wa Allâhu a‘lam.” Dari Fatwa ini, terlihat bahwa Tuan Arsjad bukan saja anti Belanda, tetapi juga anti terhadap para pembantu Belanda di Indonesia. Belanda dan para pembantunya tersebut, pada saat fatwa ini digulirkan, dinilai sebagai musuh-musuh Allah Swt. yang ingin kembali menjajah bangsa dan negara Indonesia.
Buku karya Tuan Arsjad tersebut, Toentoenan Perang Sabil, memunculkan reaksi dari pihak Belanda dan para pembantunya di Indonesia. Bahrum Jamil (1983) menjadi saksi mengenai kegerahan dan kegelisahan Belanda dan para pembantunya terhadap karya tersebut. “Buku itu akhirnya disita dan diserobot oleh serdadu kolonial Belanda dan kaki tangannya, karena buku itu sungguh-sungguh sangat ditakutkan oleh tentara pendudukan masa itu,” demikian kata Bahrum Jamil. Buku tersebut dinilai akan mampu mengobarkan semangat jihad di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, terutama di Sumatera Utara, mengingat posisi dan pengaruh penulisnya kala itu. Terbukti bahwa kaum Muslim khususnya warga Al Jam’iyatul Washliyah tanpa rasa takut turut serta mempertahankan kemerdekaan dan berani berperang melawan Belanda dan para pembantunya.
Buku itu tentu saja membuat keberadaan Tuan Arsjad menjadi incaran serdadu Belanda dan sasaran “balas dendam politik” para pembantu Belanda di Indonesia. Secara historis, ungkap Usman Pelly (2013: 239), selama masa revolusi (1945-1950), Al Washliyah aktif membela kemerdekaan dan tanpa gentar menghadapi “Belanda yang ingin menegakkan kembali pemerintahan serta kesultanan Melayu yang mendukung Belanda.” Pelly melanjutkan, ketika semua kota di Sumatera Timur berhasil diduduki Belanda dan kesultanan-kesultanan Melayu bekerjasama dengan Belanda sukses membentuk Negara Sumatera Timur (NST), banyak pejabat republik terutama dari kalangan Al Washliyah mengungsi ke luar wilayah Medan. Mereka yang masih menetap di Medan ditangkap satu persatu. Tuan Arsjad, dalam fase ini, ditangkap setelah ia harus pulang ke Medan dari Rantau Prapat lantaran istrinya sakit dan hendak berobat ke dokter. Istrinya kemudian meninggal dunia, sedangkan ia masih ditawan Belanda (Pelly, 2013: 245). Beberapa tokoh Al Washliyah, misalnya Baharuddin Ali, juga sering diperiksa polisi terkait pendirian dan sikap politik Al Washliyah (Sulaiman [ed.], 1956).
Sebagai pencetus fatwa jihad di atas, derap langkah Tuan Arsjad diikuti dan dicurigai oleh Belanda dan kaki tangannya. Pada bulan Maret 1949, kata Nukman Sulaiman (1956), dengan sebuah siasat, Tuan Arsjad dibawa ke Kantor Polisi Seksi Medan Barat di Jalan Istana, dan kemudian ia dimasukkan ke dalam penjara dan menjadi tahanan politik. Selama di penjara, ia sering ditanya mengenai masalah-masalah politik dan paramiliter, terutama masalah Laskar Hizbullah dan tawanan rakyat. Untuk memahami latar penangkapan itu, tentu perlu dilihat konteks historis Sumatera Timur selama masa revolusi (1945-1950).
Nukman Sulaiman (1956: 159) mengungkap bahwa pasca Agresi Militer ke-2, Al Washliyah mengalami cobaan pahit ketika Negara Sumatera Timur (NST) didirikan di Medan, dan umum diketahui bahwa para pemuka Al Washliyah (yang sangat dikenal sebagai pendukung setia Republik Indonesia) dicurigai oleh para pemimpin NST. Kantor Al Washliyah kerap diintai, dan pengurus Al Washliyah mengalami tekanan politik. Al Washliyah sendiri, kata Abdurrahman Sjihab (1950: 14-15), menilai bahwa NST merupakan negara boneka ciptaan Belanda. Al Washliyah, kata Sjihab, sama sekali tidak mau bekerjasama dengan penguasa NST dan malah menuntut secara tegas pembubaran negara boneka tersebut. Saat Tuan Arsjad ditangkap, Kota Medan merupakan bagian dari kekuasaan Negara Sumatera Timur (1947-1950), sebuah negara yang oleh para pemimpin Al Washliyah dinilai sebagai negara boneka ciptaan Belanda. Artinya, Tuan Arsjad ditangkap oleh polisi NST karena motif politik. Tentu saja, aparatur pemerintahan NST mendukung Belanda dan antipati terhadap pendukung Republik Indonesia.
Penangkapan ini kelihatannya merupakan bentuk “balas dendam politik” pihak Belanda terutama para pembantunya atas gerakan politik dan fatwa jihad Tuan Arsjad. Pada tanggal 4 Oktober 1949, Pengurus Besar (PB) Al Washliyah memutuskan untuk mengirimkan mosi pembebasan Tuan Arsjad. Mosi itu dikirimkan, di antaranya, kepada Dewan Perwakilan Sementara NST di Medan, Direktur Kabinet NST, Kepala Departemen Kehakiman NST, Pemerintah Negara Republik Indonesia, Pemerintah Federal Indonesia di Jakarta, dan Wakil Mahkota Sumatera Timur. Mosi itu berisi tuntutan agar Tuan Arsjad segera dibebaskan dan diberikan kepastian hukum. Kemudian, Setia Usaha Umum atas nama Wali Negara Sumatera Timur membalas mosi tersebut dalam sebuah surat tertanggal 13 Oktober 1949. Poin penting dari isi surat tersebut adalah “… saya maklumkan kepada Tuan, bahwa dalam waktu yang singkat akan dibebaskan sekalian tahanan politik.” Dalam catatan riwayat hidupnya disebutkan bahwa Tuan Arsjad ditawan Belanda sejak tanggal 29 Maret 1949 sampai tanggal 23 Desember 1949.
Setelah Indonesia menjadi negara berdaulat penuh, Tuan Arsjad secara aktif mengisi kemerdekaan. Dalam bidang politik, ia menjadi anggota Madjlis Sjuro DPP Masjumi sampai partai ini bubar. Pada Pemilu tahun 1955, ia terpilih dan kemudian dilantik menjadi anggota Konstituante bersama tokoh Al Washliyah lain seperti Adnan Lubis, Bahrum Jamil dan Muhammad Ali Hanafiah Lubis (Mahals).
Jauh sebelum peristiwa G30S/PKI atau Gestapu tahun 1965, tepatnya dalam Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang, 8-11 September 1957, ia sudah meyakini bahwa kaum komunis “akan melakukan tindakan kekerasan dan menegakkan pemerintahan diktator dalam melaksanakan cita-citanya” (Lubis, 1957: 14).
Selain itu, jasanya dalam bidang pendidikan sedemikian tersohor, karena sejak era kolonial sampai akhir hayatnya, ia sangat aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Karya-karyanya menjadi bacaan antar generasi, dan sampai detik ini tetap menjadi referensi generasi milenial. Tidak kurang dari 56 karyanya sudah berhasil dihimpun, dan semuanya telah menjadi media efektif bagi pencerdasan anak bangsa. Karena itulah, Tuan Arsjad pantas menjadi pahlawan nasional.
Dr. Ja’far, M.A.
- Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe
- Sekretaris CAS
Sumber Berita : https://washliyah.or.id/blog/2021/08/20/fatwa-jihad-tuan-arsjad/