“Kalau panjanglah usia H. Abdurrahman Sjihab itu, kaum muslimin akan mempunyai ulama besar yang tulus ikhlas dan mengerti politik …” (Buya HAMKA)
BEBERAPA hari lagi, bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945–17 Agustus 2021. Tentu saja, bangsa Indonesia, khususnya wargan Al Jam’iyatul Washliyah, wajib dan perlu menyambut hari istimewa tersebut dengan penuh kegembiraan, sembari kembali merenungi sejarah perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Keberhasilan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan juga tidak lepas dari peran aktif para ulama di Nusantara karena kesuksesan mereka dalam menanamkan sikap anti kolonialisme dan menggerakkan potensi umat untuk melakukan perlawanan secara fisik terhadap bangsa penjajah. Di antara ulama yang menggelorakan semangat anti kolonialisme dan perlawanan terhadap pihak penjajah adalah Abdurrahman Sjihab (1910-1955), salah seorang pendiri dan pemimpin terkemuka organisasi Al Jam’iyatul Washliyah.
Abdurrahman Sjihab lahir pada tahun 1910 di Kampung Paku, Galang (sekarang bagian dari Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia). Ayahnya adalah H. Sjihabuddin, seorang kadi di Kerajaan Serdang. Pada era kolonial, ia mempelajari ilmu-ilmu agama Islam di Maktab Sairussulaiman di Simpangtiga Perbaungan (saat ini bagian dari Kabupaten Serdang Bedagai). Ia kemudian melanjutkan pelajarannya di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT). Saat itu, MIT dipimpin oleh Syekh Muhammad Yunus, seorang ulama terkenal di Medan dan pernah belajar kepada sejumlah ulama di Makkah. Setelah tamat dari MIT, Abdurrahman Sjihab melanjutkan pelajarannya di Madrasah Al-Hasaniyah dan berguru kepada Syekh Hasan Ma’sum, seorang ulama yang menjabat sebagai Adviseur (Penasihat) di Mahkamah Kerapatan Sultan Deli dalam bidang Hukum Islam dan bergelar Imam Paduka Tuan.
Syekh Hasan Ma’sum merupakan salah satu murid kesayangan dari Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi di Masjidilharam. Kepada dua ulama ini, Abdurrahman Sjihab mendalami khazanah keilmuan Islam menurut mazhab Syâfi‘iyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Dua mazhab ini kemudian menjadi asas perjuangannya dalam memajukan agama Islam dan negara yang dicintainya, Republik Indonesia.
Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Abdurrahman Sjihab telah turut mencerdaskan anak bangsa dengan menjadi guru di MIT, dan kemudian mendirikan sekaligus memimpin sebuah perkumpulan pelajar MIT yang tujuannya adalah “Debating Club.” Dua tahun setelah berdiri, perkumpulan pelajar ini kemudian berubah menjadi sebuah organisasi Islam bernama Al Jam’iyatul Washliyah yang diresmikan di Kota Medan pada tanggal 9 Rajab 1349 hijriah, bertepatan dengan tanggal 30 Nopember 1930 masehi. Ia kemudian menjadi Ketua Al Washliyah sejak bulan Desember 1931 sampai tanggal 30 Juli 1932, dan kembali memimpin sejak tanggal 1 Juli 1933 sampai ia meninggal dunia pada hari Senin, 7 Februari 1955. Artinya, Abdurrahman Sjihab memimpin Al Washliyah sejak era penjajahan Belanda sampai era kemerdekaan.
Selama era kolonial, Abdurrahman Sjihab tampil sebagai pemimpin umat, terutama di kawasan Sumatera Timur yang merupakan basis utama amal usaha Al Washliyah saat itu. Anthony Reid (2014) mengungkap bahwa saat dipimpin Abdurrahman Sjihab, Al Washliyah menjadi organisasi Islam terbesar di Sumatera Timur. Abdurrahman Sjihab sebagai Ketua Al Washliyah saat itu melaporkan bahwa pada tahun 1941, empat tahun sebelum Indonesia merdeka, Al Washliyah sudah mengelola 440 unit lembaga pendidikan mulai dari tingkat Madrasah Tajhizi, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Al Qismul Ali, Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah Pertama. Selain bergerak di bidang pendidikan, Al Washliyah juga bergerak dalam bidang dakwah/tabligh, sosial dan penerbitan. Selama era penjajahan Belanda, ia berhasil menjadikan Al Washliyah sebagai organisasi kuat yang sukses mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan jumlah kalangan terpelajar dan memberantas buta huruf.
Semua capaiannya ini sangat berguna bagi bangsa Indonesia terutama bagi persiapan dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Buya HAMKA memberikan informasi bahwa selama Jepang berkuasa, Abdurrahman Sjihab tampil sebagai pemimpin yang berani berdiplomasi dengan pihak Jepang ketika banyak pemimpin di Sumatera Timur lebih memilih untuk bersikap diam terutama terkait kebijakan-kebijakan Jepang terhadap bangsa Indonesia.
Buya HAMKA menjadi saksi betapa Abdurrahman Sjihab menjadi pemimpin yang paling berani kala itu. Keberaniannya di antaranya terlihat ketika ia tanpa takut menyelesaikan masalah keirei. Menurut HAMKA, tidak sedikit pemuka kaum Muslim di Sumatera Timur kala itu yang menyerahkan masalah keirei kepada takdir. Selain memimpin Al Washliyah, ia menginisiasi dan bersama HAMKA turut memimpin organisasi yang bernama Persatuan Ulama Sumatera Timur (PUST) dan kemudian Pusat Pimpinan Islam Sumatera Timur.
Dua organisasi ini diharapkan bisa menjadi wadah bertukar pikiran para ulama di Sumatera Timur terutama dari kalangan Al Washliyah dan Muhammadiyah. Oleh Abdurrahman Sjihab, era penjajahan Jepang disebut sebagai zaman yang penuh cobaan, penderitaan dan kesulitan, dan ia menjadikan Al Washliyah sebagai organisasi yang secara maksimal mengawal dan memperkuat iman kaum Muslim, dan terus mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
Setelah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, Abdurrahman Sjihab sebagai pemimpin Al Washliyah dan kaum Muslim di Sumatera Timur menjadi pendukung dan pengawal setia Republik Indonesia. Ia berkata “dalam zaman Indonesia merdeka, sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, soal mempertahankan Indonesia merdeka menjadi soal sepenting-pentingnya.”
Memang, berita kemerdekaan telat sampai ke Medan. Namun, setelah berita kemerdekaan Indonesia sampai, Abdurrahman Sjihab sebagai Ketua Al Washliyah langsung mengadakan rapat khusus. Rapat itu diadakan pada tanggal 9 Oktober 1945 untuk membicarakan masalah kemerdekaan dan rapat memutuskan bahwa “Al Jam’iyatul Washliyah turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”
Hasil rapat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soekarno di Jakarta dan Gubernur Sumatera di Medan. Keputusan rapat ini terbilang sangat berani mengingat
instabilitas sosial, politik dan keamanan saat itu.
Pada tanggal 27-28 Oktober 1945, Abdurrahman Sjihab juga menginisiasi rapat khusus terkait mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Secara umum rapat memutuskan: memberikan dukungan moril kepada Presiden Soekarno dengan menyatakan “di atas nama 50.000 keluarga, Al Jam’iyatul Washliyah menghendaki kemerdekaan 100%.” Ia bersama Udin Sjamsuddin juga menandatangani keputusan rapat yang berisi perintah kepada seluruh pemimpin, guru, dai, pemuda dan pendukung Al Washliyah (baik laki-laki maupun perempuan) untuk secara aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, Al Washliyah melalui Madjlis Al-Fatwa juga mengeluarkan resolusi jihad untuk menolak kehadiran kembali Belanda dan para pendukungnya di Indonesia dan menegaskan bahwa mati melawan Belanda dan para pendukungnya dengan niat menegakkan Agama Islam adalah mati syahid.
Abdurrahman Sjihab juga menggerakkan potensi Al Washliyah untuk menghadapi Agresi Militer I dan Agresi Militer II di Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli. Ini misalnya dengan mendirikan Majelis Pertahanan Kemerdekaan Indonesia Al Jam’iyatul Washliyah dan Badan Pertahanan Al Washliyah. Ia juga secara tegas menolak Negara Sumatera Timur (NST) yang dinilainya sebagai negara boneka buatan Belanda, dan menghendaki Sumatera Timur tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Ia berkata “Al Washliyah termasuk satu-satunya perhimpunan Islam yang terus memperlihatkan sikapnya tidak suka bekerjasama dengan Belanda dan negara bonekanya (NST).” Saat Agresi Militer I, tentara Belanda memasuki wilayah Tebing Tinggi dan langsung menghujani peluru ke Kantor Residen, dan Abdurrahman Sjihab yang saat itu sedang menjalankan tugas sebagai anggota eksekutif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sumatera Timur di kantor itu menjadi salah satu target sasaran tembakan tentara
musuh. Syukur ia bisa selamat dari penyerbuan brutal itu.
Selain itu, Abdurrahman Sjihab secara aktif turut mengisi kemerdekaan Indonesia dengan menjadi anggota legislatif di level lokal sampai tingkat nasional. Dalam hal ini, ia pertama sekali menjadi anggota DPR Sumatera Utara dan anggota eksekutif DPR Sumatera Timur. Ia kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan terakhir menjadi anggota DPR Negara Republik Indonesia sampai akhir hidupnya.
Dalam bidang politik, ia menjadi anggota DPP Partai Masjumi sampai akhirnya diamanahkan sebagai Ketua Majelis Syura DPP Partai Masjumi. Abdurrahman Sjihab, kata Mohammad Natsir (w. 1993), adalah seorang alim yang memahami seluk beluk ajaran dan hukum Islam; dan kata Buya Hamka (w.1981), adalah ulama yang mengerti politik. Dari pengakuan dua tokoh Masjumi ini, dapat disimpulkan bahwa Abdurrahman Sjihab adalah “ulama pergerakan”, dalam arti menguasai ilmu agama secara mendalam, aktif berjuang merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, dan mewakafkan dirinya untuk mengurus masalah politik kenegaraan. Kehidupan dan perjuangan Abdurrahman Sjihab secara detail telah direkam dalam sebuah buku yang berjudul Sang Ulama Pemimpin: Biografi Abdurrahman Sjihab.
Dr. Ja’far, M.A.
- Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe
- Sekretaris CAS
Sumber Berita : https://washliyah.or.id/blog/2021/08/12/abdurahman-sjihab-pejuang-kemerdekaan-republik-indonesia/