Medan. Sabtu, 23 September 2023, saya diamanahkan sebagai salah satu narasumber dalam seminar nasional bertema “Menggagas Strategi Kebudayaan Dalam Optimalisasi Dakwah Al Washliyah.” Kegiatan yang diinisiasi oleh Pimpinan Daerah Al Jam’iyatul Washliyah Kota Medan ini diadakan di Hotel Saka Medan, dan diikuti oleh para pengurus PD Al Washliyah dan pengurus organisasi bagian Al Washliyah (yakni Muslimat, ISARAH, IGDA, HIMMAH, dan IPA). Kegiatan seperti ini penting diadakan karena dapat menjadi wadah bagi para pengurus, kader, dan simpatisan Al Washliyah untuk memikirkan strategi memajukan organisasi di masa mendatang.
Dalam seminar ini, saya mengutip pengertian strategi kebudayaan menurut C.A. Van Peursen, yakni “upaya manusia untuk belajar dan merancang kebudayaannya.” Dalam Peraturan Presiden No. 114 Tahun 2022 disebutkan juga bahwa strategi kebudayaan adalah “pedoman bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Setiap Orang dalam melaksanakan Pemajuan Kebudayaan.” Dari sini, strategi kebudayaan Al Washliyah diartikan sebagai upaya Al Washliyah untuk belajar, merancang dan memajukan kebudayaannya.
Dalam seminar ini, saya mengutip pendapat Koentjaraningrat tentang makna dan unsur kebudayaan. Lalu, saya menegaskan bahwa Al Washliyah sebagai sebuah organisasi juga berhasil membentuk dan akhirnya memiliki budaya sendiri. Budaya Al Washliyah merupakan bagian dari budaya Islam. Dalam hal ini, misalnya, Al Washliyah memiliki: sistem religi dan upacara keagamaan yang berdasarkan agama Islam menurut mazhab Syafi‘iyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah; sistem dan organisasi kemasyarakatan dimana Al Washliyah sebagai alat perjuangan umat memiliki aturan baru yang termanifestasi dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan Peraturan Organisasi; sistem pengetahuan dimana madrasah dan perguruan tingginya mengajarkan ilmu fadh ‘ain sekaligus fardh kifayah; bahasa dimana bahasa Arab, Arab-Melayu (Pegon), bahasa Indonesia, dan bahasa daerah dipertahankan dan menjadi media komunikasi yang efektif; kesenian dimana kesenian Islam diperkenalkan dan dilestarikan; sistem mata pencaharian hidup, dimana guru, penulis, mubalig, birokrat, politisi, dan pengusaha menjadi profesi utama para konstituen; sistem teknologi dan peralatan, dimana teknologi mutakhir untuk kepentingan Islam dan umat Islam digunakan secara maksimal; sistem ekonomi, dimana ekonomi syariah yang anti kapitalisme dan komunisme, dan filantropi Islam dikembangkan untuk kesejahteraan umat dan bangsa; dan kekuasaan politik, dimana “syariatisasi negara” dan kompatibilitas Islam dan Pancasila sedemikian diperjuangkan.
Dalam seminar ini, saya juga menyampaikan perihal tradisi intelektual yang ditampilkan oleh para ulama yang mendirikan Al Washliyah. Tradisi tersebut saya ungkap dalam sembilan poin, yakni (1) Al Washliyah, tradisi Sunni, otoritas isnad dan rihlah ilmiah, (2) Al Washliyah, peradaban buku, dan transmisi ilmu-ilmu keislaman, (3) Al Washliyah, dan universalitas ilmu, (4) Al Washliyah, madrasah, dan kitab kuning, (5) Al Washliyah, muzakarah, dan debat antar iman, (6), Al Washliyah dan penerbitan, (7) Al Washliyah dan filantropi, (8) Al Washliyah, agama, dan negara, dan (9) Al Washliyah dan tradisi organisasi.
Terakhir, saya menyampaikan pendapat dua ulama Al Washliyah tentang strategi memajukan organisasi. Pertama, pendapat Ustaz M. Arsjad Th. Lubis (Tuan Arsjad). Menurutnya, Al Washliyah di masa mendatang dapat menjadi organisasi maju dengan memperhatikan dua hal berikut. (1) Al Washliyah sebagai alat perjuangan: Untuk memelihara dan memajukan Al Washliyah, harus selalu diusahakan: (1) Memperkuat organisasinya; (2) Menambah pencita-citanya; (3) Memilih pemimpin-pemimpin yang mengendalikannya, sedapat mungkin hendaklah terdiri dari orang-orang jujur, takwa kepada Tuhan dan tabah berjuang; (4) Menjaga agar pemimpin-pemimpinnya selalu dapat menjadi contoh yang baik di tengah-tengah masyarakat, setia kawan dan setia pada asas dan dasar keputusan bersama; (5) Memelihara jangan sampai Al Washliyah pecah atau menyeleweng dari asas dan tujuannya; (6) Memohonkan agar Tuhan selalu memberikan hidayah dan inayah-Nya. (2) Al Washliyah dengan cita-citanya: Cita-cita tujuan Al Washliyah adalah “melaksanakan tuntutan agama Islam untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mencapai cita-cita tersebut, dicantumkan usaha-usaha Al Washliyah sebanyak 11 macam yang disebut sebagai muttafaq ‘alaih, yaitu usaha-usaha yang telah kita setujui bersama kebaikan dan kebenarannya. Segenap perundingan dan usaha hendaklah ditumpukan lebih dahulu kepadanya. Tuan Arsjad menegaskan bahwa “Saya rasa amal yang dilaksanakan Al Washliyah sudah cukup besar jika ia telah dapat memenuhi pelaksanaan 11 macam usaha yang muttafaq ‘alaih itu, yang telah diperinci dalam Anggaran Dasar itu. Maka kepada pemuda-pemuda Al Washliyah saya pesankan: tumpukkanlah perhatianmu lebih dahulu kepada usaha-usaha yang muttafaq ‘alaih itu. Pesan ini saya iringi dengan doa mudah-mudahan Tuhan selalu mencucuri kita dengan hidayah, taufik, rakhmat dan berkah-Nya.”
Kedua, pendapat Ustaz Nukman Sulaiman. Menurutnya, Al Washliyah dapat menjadi organisasi maju di masa mendatang manakala para pengurus organisasi ini memperhatikan delapan hal berikut (1) Prinsip perjuangan Al Washliyah adalah menunaikan tuntutan agama Islam sesuai mazhab Syafi‘i dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, (2) Hendaklah perjuangan Al Washliyah disesuaikan kembali dengan Q.S. al-Ra‘du: 19-25, (3) Mencari pemimpin yang alim yang mengamalkan ilmunya, pemimpin yang Ikhlas, serta terpuji budi pekertinya, pemimpin yang berwibawa yang dapat dijadikan imam, (4) Kembali kepada sistem pendidikan madrasah yang mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab dengan tidak mengabaikan karya-karya baru sebagai pengantar, (5) Selalu mengadakan rapat dan pertemuan untuk membicarakan kemajuan Al Washliyah, (6) Menggalakkan usaha-usaha home industry, peternakan, perikanan, pertanian, perkebunan, dengan menarik tenaga ahli dalam berbagai bidang tersebut, tetapi gerakan pengabdian Al Washliyah adalah terhadap masyarakat, sehingga tidak dikatakan: para pelajar Al Washliyah hanya pandai membaca doa dan barzanji saja, (7) Mengintensifkan pengumpulan dana. Jangan sampai Al Washliyah disebut sebagai peminta saja, tetapi hendaknya dikenal sebagai pemberi, dan (8) Memiliki sarana dan prasarana yang mutakhir.
Dr. Ja’far, M.A.
- Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe
- Sekretaris Centre For Al Washliyah Studies (Pusat Kajian Al Washliyah)
Penulis : Dr. Ja'far, M.A.