Sabtu, 23 September 2023, saya diundang oleh Pimpinan Daerah (PD) Al Jam’iyatul Washliyah Kota Medan sebagai narasumber dalam dua sesi diskusi: Pertama, “Sarasehan dan Silaturahmi PD Al Jam’iyatul Washliyah Kota Medan Bersama Organisasi Bagian.” Kedua, “Seminar Nasional Menggagas Strategi Kebudayaan Dalam Optimalisasi Dakwah Al Washliyah.” Kegiatan ini diadakan di Hotel Saka Medan, dan dihadiri oleh pengurus PD Al Washliyah dan pengurus organisasi bagian Al Washliyah (yakni Muslimat, ISARAH, IGDA, HIMMAH, dan IPA). Sebagian dari peserta yang hadir juga merupakan bakal calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 dari berbagai partai politik terutama PPP, PKS, dan PDI-P. Tulisan ini merupakan refleksi saya terhadap hasil diskusi di sesi pertama, dimana saya secara khusus menyampaikan materi tentang relasi Al Washliyah dan politik. Refleksi saya terhadap hasil diskusi di sesi kedua akan disampaikan dalam artikel berikutnya.
Pada awalnya saya diminta untuk menyampaikan materi seputar Kealwashliyahan dalam acara diskusi pertama. Namun ternyata perhatian panitia dan peserta diskusi, sebagaimana terlihat di awal acara pembukaan, lebih tertarik pada isu politik menjelang Pemilu 2024. Karena itu, akhirnya saya abaikan catatan-catatan saya seputar Kealwashliyahan yang telah dibuat dalam bentuk slide, dan lantas menyampaikan materi seputar relasi Al Washliyah dan politik. Topik ini memang cukup menarik minat, apalagi tahun depan rakyat Indonesia, termasuk warga Al Washliyah, akan menghadapi pesta demokrasi untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, Kepala Daerah, dan Anggota Legislatif. Sebagian pengurus Al Washliyah dan organisasi bagian yang hadir dalam sesi diskusi ini merupakan pengurus partai politik dan sebagian dari mereka telah mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif. Forum ini kemudian memang lebih banyak mendiskusikan isu-isu seputar Al Washliyah dan politik di Indonesia.
Di awal diskusi, saya langsung menyampaikan kesimpulan bahwa“berpolitik berarti meneladani jejak para pendiri (the founding fathers) Al Washliyah. Anti politik adalah tanda tidak meneladani mereka.” Term politik yang digunakan di sini memiliki arti luas, mengingat secara teori, politik terdiri atas dua ranah: (1) ranah politik kebangsaan dan (2) ranah politik praktis. Politik kebangsaan atau politik tingkat tinggi yang bisa terlihat dari “sikap proaktif dalam mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara dan memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela rakyat dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.” Ranah politik praktis, yakni politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah dan menjadi porsi partai politik. Ranah ini terkait dengan perebutan kekuasaan dan mengelola pemerintahan dan negara. Berbagai sumber menunjukkan bahwa para pendiri Al Washliyah ternyata melibatkan diri mereka, bahkan organisasi yang mereka dirikan, dalam politik kebangsaan sekaligus politik praktis. Hal ini perlu saya sampaikan mengingat masih ditemukan warga Al Washliyah yang sangat antipati terhadap politik praktis, bahkan antipati manakala organisasi Al Washliyah mengurusi dan mencampuri masalah politik. Kembali saya tegaskan, anti politik merupakan bukti kegagalan meneladani para pendiri Al Washliyah, sekaligus keliru dalam memahami tujuan Al Washliyah didirikan, yakni “memajukan, mementingkan dan menambah tersiarnya agama Islam.”
Para pendiri Al Washliyah meyakini setidaknya tiga hal berikut. Pertama, cita-cita Islam dapat diwujudkan lewat dua aspek, yakni aspek politik, dan aspek pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia. Kedua, cita-cita Al Washliyah meliputi amal-amal sosial, pendidikan, dakwah, dan politik kebangsaan dan kenegaraan. Ketiga, politik tidak dapat dipisahkan dari agama Islam, karena Islam meliputi seluruh kehidupan manusia termasuk sosial, ekonomi dan politik.
Pendapat pertama merupakan pemikiran politik Ustaz M. Arsjad Th. Lubis. Dalam artikelnya berjudul “Pendirian Al Djamijatul Washliyah” yang terbit pada tahun 1956, Tuan Arsjad menegaskan bahwa cita-cita Islam dapat diwujudkan lewat dua lapangan, yakni lapangan politik dan lapangan pembangunan dan pembinaan. Ini sesuai perkataannya, “dalam memperjuangkan cita-cita Islam, kita melihat dua lapangan yang amat penting: Pertama, lapangan politik … Kedua, lapangan pembangunan dan pembinaan.” Tuan Arsjad juga menegaskan “dalam memperjuangkan cita-cita, kedua lapangan itu harus diisi umat Islam, kedua-duanya bertalian rapat dan masing-masing harus mendapatkan perhatian yang istimewa.” Ia juga menyatakan, “dalam memperjuangkan cita-cita Islam sebagaimana diterangkan di atas haruslah perjuangan di lapangan politik senantiasa didampingi dengan perjuangan di lapangan pembangunan dan pembinaan.” Dengan demikian, Tuan Arsjad menegaskan bahwa bidang politik sebagaimana bidang pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia harus mendapatkan perhatian yang istimewa.
Pendapat kedua merupakan pemikiran politik H. Abdurrahman Sjihab yang tertuang dalam artikelnya yang terbit pada tahun 1950 berjudul “Hari Peringatan Ulang Tahun Ke XX Al Djamijatul Washlijah 30 November 1930 – 30 November 1950”. Artikel ini dimuat dalam majalah Medan Islam, No. 1 Tahun ke-11, 30 November 1930/Safar 1370. Dalam artikel itu, H. Abdurrahman Sjihab menguraikan perjuangan Al Washliyah selama lima zaman: zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, zaman Indonesia merdeka dengan daerah pedalaman dan pendudukannya, zaman Indonesia merdeka dan berdaulat dengan negara-negara bahagiannya bekas sisa penjajahan, dan zaman Negara Kesatuan.
Dalam zaman penjajahan, menurut H. Abdurrahman Sjihab, Al Washliyah memperjuangkan cita-citanya dengan mengadakan usaha-usaha dalam bidang amal sosial dimana organisasi ini membangun perguruan-perguruan, mengadakan penyiaran Islam, menyantuni fakir dan miskin, tablig dan penerangan agama Islam, dan pemberian beasiswa bagi para pelajar. Dalam zaman pendudukan Jepang, Al Washliyah mempertahankan usaha-usahanya yang telah berhasil dibangun, dan juga memperkuat keimanan dan ketabahan kaum Muslim. Dalam zaman Indonesia merdeka dan berdaulat, Al Washliyah berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan juga menolak bahkan ikut membubarkan keberadaan Negara Sumatera Timur sebagai negara boneka Belanda. Dalam zaman Negara Kesatuan, Al Washliyah secara aktif membangun dan membina kekuatan bangsa dan negara. Al Washliyah menilai bahwa Indonesia merupakan negara ciptaan rakyat Indonesia dimana Al Washliyah mengambil bagian dalam proses pendiriannya. Ustaz Abdurrahman Sjihab berkata “Syukur Alhamdulillah, sekarang kita telah hidup dalam negara yang merdeka dan berdaulat, hasil perjuangan kita bersama. Kita hidup dalam negara ciptaan kita. Kita hidup dalam pemerintahan yang kita bangun. … marilah kita bersama-sama menggerakkan usaha-usaha yang mendatangkan kebahagiaan kepada bangsa dan negara.” Jelasnya, selama para pendiri Al Washliyah menjadi pemimpin organisasi, Al Washliyah melibatkan diri dalam politik kebangsaan sekaligus politik praktis.
Pendapat ketiga adalah pemikiran politik Ustaz Nukman Sulaiman. Ia telah memberikan tafsir tentang Islam sebagai asas organisasi Al Washliyah. Ia berkata, “Anggaran Dasar Al Jam’iyatul Washliyah Pasal 2 dan Pasal 3 menjelaskan bahwa (a) Al Washliyah berdasarkan Islam, (b) Al Washliyah bertujuan melaksanakan tuntutan agama Islam.” Menurutnya, “agama Islam adalah meliputi sifat-sifat sosial, ekonomi dan politik… Dasar Islam itu adalah meliputi tujuan: (a) mengatur masyarakat yang baik (sosial), (b) memperbaiki harkat hidup manusia (ekonomi) (c) memegang kekuasaan dalam pemerintahan (politik).” Karena itu, berdasarkan tafsiran ini, bidang politik sesungguhnya juga menjadi tujuan Al Washliyah.
Hanya saja, menurut Ustaz Nukman Sulaiman, Al Washliyah kemudian lebih memilih untuk fokus pada bidang pendidikan (dan juga ekonomi), bukan politik, sehingga Al Washliyah tidak pernah menjadi partai politik. Ia berkata “tetapi oleh karena luasnya tujuan Al Jam’iyatul Washliyah ini, maka ia melihat bidang mana yang harus didahulukan… Al Jam’iyatul Washliyah memusatkan (menumpukan) kegiatannya terlebih dahulu di bidang pembangunan pendidikan itu. “Manakalah di satu-satu waktu Al Washliyah melihat tidak ada suatu partai pun yang dapat dipercayainya untuk memperjuangkan tuntutan Islam dalam bidang politik, maka sudah tentu pada ketika itu Al Jam’iyatul Washliyah akan mempertimbangkan untuk turun tangan berjuang di bidang politik.” Pernyataan ini membuka peluang bahwa di masa mendatang, bisa saja Al Washliyah berjuang di bidang politik, dengan syarat bahwa tidak ada partai politik yang mampu memperjuangkan tuntutan agama Islam. Ia juga mengungkap bahwa Al Washliyah lebih memfokuskan pada usaha di bidang pendidikan, karena “tidak akan ada artinya kemenangan yang dicapai di bidang politik kalau tidak menguasai pendidikan. Kemenangan di bidang politik semata-mata adalah kemenangan sementara, karena tidak ada yang berilmu (ahli) untuk meneruskannya.” Yang jelas bahwa, Ustaz Nukman Sulaiman menegaskan bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama Islam, karena memang agama Islam juga meliputi dan mengatur masalah politik.
Menariknya, meskipun para pendiri Al Washliyah tidak buta apalagi anti politik, mereka tetap menghendaki Al Washliyah sebagai organisasi sosial keagamaan (bukan organisasi politik) dan organisasi ini tidak boleh abai dengan perkembangan politik di Indonesia. Sikap politik Al Washliyah ini, sebagaimana dinyatakan oleh para pendiri dan ulama Al Washliyah, secara resmi dimuat dalam buku “Memperingati Ulang Tahun Al Washlijah ke-27” yang terbit tahun 1957, yakni: “Al Washliyah dari dulu hingga saat ini masih terus bertahan dalam fungsinya dengan tidak menyatakan Al Washliyah sebagai partai politik. Kendati Al Washliyah tidak menyatakan dirinya partai politik, tetapi bukanlah berarti bahwa ia tidak mengikuti pergolakan yang menyangkut dengan politik, yang dalam hal ini Al Washliyah mempunyai pandangan: politik itu adalah sebahagian dari amal usaha yang akan dikerjakan. Oleh sebab itulah, tokoh-tokoh Al Washliyah yang berbakat politik segera terjun ke dalam partai politik Islam bahkan aktif menggerakkan dan memberikan isi bagi gerakan-gerakan partai politik Islam.” Sikap politik ini merupakan sikap resmi organisasi saat Al Washliyah masih dipimpin oleh Ustaz M. Arsjad Th. Lubis.
Secara konseptual, pemikiran politik para pendiri Al Washliyah di atas telah menunjukkan bahwa politik harus mendapatkan perhatian dari kaum Muslim, khususnya warga Al Washliyah. Dalam tataran praktikal, para pendiri Al Washliyah sendiri adalah teladan utama dalam berpolitik praktis. Artinya, mereka adalah ulama yang berpolitik. Dalam buku Ustaz Nukman Sulaiman yang berjudul “Al Washliyah” (Medan: Pustaka Azizi, 1967) jilid 1 halaman 8 dan 9, disebutkan bahwa terdapat 15 orang yang membangun Al Washliyah, dan semua pendiri Al Washliyah tersebut merupakan politisi. Mayoritas pendiri Al Washliyah berafiliasi dengan Partai Masjumi. Satu di antara mereka bahkan berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), dan menjadi figur sentral partai ini. Ia adalah Adnan Nur Lubis yang pernah menjadi Sekretaris PNI Provinsi Sumatera Utara dan Ketua DPRD Peralihan Provinsi Sumatera Utara periode 2 Januari 1957 sampai 29 Januari 1961. Abdurrahman Sjihab, saat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Al Washliyah, diamanahkan menjadi Ketua Majelis Sjuro DPP Masjumi, setelah sebelumnya menjadi pimpinan Partai Madjelis Islam Tinggi (MIT) dan Partai Masjumi cabang Sumatera Timur dan Sumatera Utara. Ustaz M. Arsjad Th. Lubis, al-Fadhil Adnan Lubis, H. Bahrum Djamil, dan H. Muhammad Ali Hanafiah Lubis, keempatnya adalah elit PB Al Washliyah dan juga menjadi anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masjumi. Keempatnya juga merupakan pengurus Partai Masjumi mulai dari tingkat lokal sampai nasional.
Lebih jauh, Abdurrahman Sjihab bersama para pendiri Al Washliyah lainnya menggiring Al Washliyah menjadi anggota istimewa Partai Masjumi, dan menjadi “mesin politik” Partai Masjumi terutama di Provinsi Sumatera Utara. Bahkan, Pengurus Besar Al Washliyah, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al Washliyah, dan Pimpinan Pusat Puteri Al Washliyah (Muslimat) mengeluarkan surat resmi perihal pemenangan Partai Masjumi. Dalam menghadapi pemilihan anggota DPR pada Pemilu 1955, PB Al Washliyah mengeluarkan “Khittah dan Instruksi Umum Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah untuk Menghadapi Pemilihan Umum,” dan salah satu poin pentingnya adalah “menetapkan kepada anggota (keluarga) Al Washliyah hendaklah memilih tanda gambar Masjumi dalam pemilihan umum yang akan datang ini.” Surat PB Al Washliyah ini diperkuat dengan keluarnya “Instruksi Khusus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al Washliyah untuk Menghadapi Pemilihan Umum,” dan “Instruksi Khusus Pimpinan Pusat Puteri Al Washliyah untuk Menghadapi Pemilihan Umum.” Dalam menghadapi pemilihan anggota Konstituante, para pendiri dan ulama Al Washliyah bahkan secara khusus melaksanakan Konferensi Daerah Al Jam’iyatul Washliyah Sumatera Utara yang kemudian mengeluarkan “Seruan Suci” dimana konferensi ini menyeru seluruh keluarga Al Washliyah “tetap memilih tanda gambar Bulan Bintang Masjumi.” Para pendiri Al Washliyah sepanjang era Orde Lama telah mengambil ijtihad dalam bidang politik, dimana Al Washliyah memperjuangkan cita-cita Islam dengan cara berpolitik praktis. Yang perlu dicatat bahwa dukungan politik Al Washliyah terhadap Partai Masjumi adalah karena partai Islam ini diakui sebagai saluran resmi politik umat Islam saat itu, dan kedua belah pihak memiliki kesamaan cita-cita dan tujuan. Apalagi, pertarungan ideologi antara kelompok Islam, kelompok nasionalis, dan kelompok komunis saat itu sangat kentara dan keras, dan ketiganya berjuang habis-habisan agar ideologinya dapat ditetapkan sebagai dasar negara. Al Washliyah saat itu bersikukuh dengan cita-citanya, yakni “memajukan, mementingkan dan menambah tersiarnya agama Islam,” dan meyakini bahwa ajaran Islam juga meliputi bidang politik dan kenegaraan.
Dr. Ja’far, M.A.*
- Sekretaris Centre For Al Washliyah Studies (Pusat Kajian Al Washliyah)
- Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe
Penulis : Dr. Ja'far, M.A.