PADA hari Sabtu, 13 November 2021, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar (PB) Al Jam’iyatul Washliyah, Dr. H. Amran Arifin, M.M., M.B.A. menelepon saya secara khusus dan kemudian menghubungkan saya dengan Ketua Umum PB Al Jam’iyatul Washliyah yakni Dr. H. Masyhuril Khamis, S.H., M.M. Saat itu, saya sedang berada di Kota Banda Aceh untuk mengikuti pelatihan publikasi berskala internasional yang diadakan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, kampus tempat saya bertugas saat ini. Ketua Umum PB Al Washliyah kemudian meminta kesediaan saya untuk menjadi narasumber dalam acara Ya Salam seri ke-26 yang diadakan pada hari Senin, 15 November 2021.
Acara Ya Salam, sepanjang yang saya ketahui, cukup menarik minat keluarga besar Al Washliyah di Indonesia. Acara ini kerap dihadiri oleh para pengurus dan simpatisan Al Washliyah terutama dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan, termasuk beberapa pengurus dari sejumlah wilayah di Indonesia bagian Timur.
Tentu saja saya sebagai kader Al Washliyah menerima permintaan itu dengan senang hati seraya meyakini bahwa ini merupakan wujud dari apresiasi dan kepercayaan dari pemimpin tertinggi Al Washliyah tersebut kepada saya, baik dalam posisi saya sebagai Ketua Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah (LKSA) PB Al Jam’iyatul Washliyah maupun sebagai peneliti yang sejak tahun 2006 sudah menekuni kajian-kajian dan menerbitkan beberapa buku dan artikel tentang Kealwashliyahan.
Adapun tema yang diangkat dalam acara Ya Salam seri ke-26 ini adalah “Jejak Intelektualitas dan Nasionalisme Pendiri Al Washliyah.” Tema ini cukup menantang dan sangat strategis untuk dibicarakan saat ini mengingat Al Washliyah akan segera memperingati milad yang ke-91 tahun. Acara seperti ini tentu saja diharapkan dapat semakin menambah wawasan para pengurus dan kader Al Washliyah mengenai organisasi tercintanya dan juga mengenalkan kepada publik perihal intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah yang selama ini jarang diungkap. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari pembicaraan saya dengan Ketua Umum PB Al Washliyah.
Dalam waktu singkat, saya kemudian mempersiapkan bahan yang hendak disajikan dalam acara tersebut dalam bentuk power point. Secara substansi, apa yang saya sampaikan dalam acara tersebut sebenarnya juga sudah saya sampaikan dalam berbagai buku dan artikel saya, terutama buku Tradisi Intelektual Al Washliyah yang terbit di Kota Medan pada tahun 2015. Saya juga menampilkan beberapa foto lawas untuk menunjukkan kontribusi nyata para pendiri Al Washliyah dalam bidang akademik.
Dari sisi sumber referensi syukur Alhamdulillah bukan menjadi persoalan, mengingat saya sudah memiliki sebuah rak buku khusus yang berisi terbitan-terbitan organisasi Al Washliyah di era awal sampai era terkini, ratusan karya ulama Al Washliyah, serta berbagai buku dan artikel karya para peneliti Al Washliyah. Secara umum, saya menyampaikan lima poin dalam acara ini, yakni (1) pemaknaan istilah dalam judul, (2) sumber Kealwashliyahan, (3) siapa pendiri Al Washliyah, (3) intelektualitas para pendiri Al Washliyah, dan (4) nasionalisme para pendiri Al Washliyah. Artikel ini merupakan rekaman akademik saya terhadap substansi materi yang telah saya sampaikan dalam acara Ya Salam seri ke-26 tersebut.
Saya sebenarnya ingin membiasakan untuk menuliskan setiap materi yang saya sampaikan sebelum atau juga setelah saya menjadi narasumber dan/atau memberikan sambutan dalam sebuah kegiatan yang bernuansa akademik. Sambutan saya di setiap acara Awsat Forum juga saya tulis dan kemudian diterbitkan. Sebenarnya, ini adalah satu di antara banyak tradisi intelektual yang diajarkan oleh para pendiri Al Washliyah.
Pemaknaan Istilah dalam Judul
Saya memulai diskusi dengan menyampaikan dua hal, yakni (1) awal mula saya memiliki perhatian terhadap kajian Kealwashliyahan dan (2) mendudukkan makna istilah “jejak, intelektualitas, nasionalisme dan pendiri Al Washliyah.” Perhatian dan minat saya terhadap kajian Kealwashliyahan telah muncul sejak saya menjadi Ketua Umum Pimpinan Komisariat (PK) Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH) Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara. Saya sudah menjadi kader HIMMAH sekitar tahun 2003 setelah saya mengikuti Latihan Kader Dasar (LKD) HIMMAH yang diadakan di Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan.
Saat itu, saya mencermati dan menyimpulkan bahwa sedikit sekali buku dan artikel mengenai kajian Kealwashliyahan yang bisa dibeli dan dibaca, dan satu-satunya buku yang cukup terkenal sejak tahun 1988 sampai saat ini adalah buku karya Chalidjah Hasanuddin yang berjudul Al Jam’iyatul Washliyah 1930-1942: Api dalam Sekam di Sumatera Timur terbitan Pustaka, Bandung.
Sedangkan buku-buku mengenai organisasi bagian Al Washliyah nyaris tidak ditemukan, khususnya mengenai HIMMAH. Sebab itulah, saya bersama kader-kader HIMMAH di IAIN Sumatera Utara menginisiasi penerbitan sebuah buku mengenai organisasi HIMMAH dan syukur Alhamdulillah ide itu berhasil direalisasikan sampai akhirnya terbit buku yang berjudul Potret HIMMAH: Menyibak Sejarah, Gerakan dan Identitas pada tahun 2007 dimana saya berperan sebagai salah seorang penulis sekaligus editor buku tersebut.
Sejak itu, perhatian dan minat saya dalam kajian Kealwashliyahan tak kunjung padam dan sejak itu pula saya memiliki komitmen untuk terus mengembangkan kajian Kealwashliyahan, meskipun ilmu sejarah sesungguhnya bukanlah bidang utama saya. Sejak itu pula, saya kerap membeli atau setidaknya harus memotokopi banyak manuskrip, buku dan artikel terkait Al Washliyah yang terkadang harganya juga cukup fantastis dan harus dibeli dengan dana sendiri.
Demi menyamakan persepsi perihal tema yang diangkat dalam acara Ya Salam, saya kemudian memberikan penjelasan tentang makna-makna yang terkandung dalam tema yang diangkat, yakni “Jejak Intelektualitas dan Nasionalisme Pendiri Al Washliyah” dengan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti jejak adalah “perbuatan (kelakuan) yang jadi teladan; bekas yang menunjukkan adanya perbuatan dan sebagainya yang telah dilakukan.” Intelektualitas di sini bermakna “berkenaan dengan intelek atau kecerdasan.” Sedangkan makna nasionalisme adalah “kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.”
Terakhir, pendiri Al Washliyah adalah sekelompok orang yang secara aktif mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah yang kemudian diresmikan pada tanggal 30 November 1930. Dengan demikian, dari tema ini, akan diungkap perbuatan-perbuatan para pendiri Al Washliyah yang bisa dijadikan teladan terkait dua hal: dimensi akademik dan kesadaran berbangsa mereka, yang tentunya dapat dan harus menjadi teladan bagi konstituen Al Washliyah hari ini dan di masa mendatang.
Sumber-sumber Kealwashliyahan
Kemudian, dalam acara ini, saya juga mengungkapkan bahwa untuk mengetahui intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah, diperlukan sumber-sumber otentik dan kuat mengenai sejarah Al Washliyah, agar informasi dan argumentasi yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Setidaknya sumber-sumber Kealwashliyahan bisa dibagi menjadi dua tipe, yakni sumber primer dan sumber sekunder.
Maksud sumber primer di sini adalah buku dan artikel yang diterbitkan oleh Al Washliyah, termasuk ulama dan cendekiawan Al Washliyah, sejak tahun 1930-an sampai saat ini. Buku-buku lawas terbitan Al Washliyah terkadang juga diperjualbelikan di kalangan penjual buku bekas dan dihargai dengan harga yang cukup fantastis. Dari segi kuantitas, jumlah sumber seperti ini sangat signifikan, dan Al Washliyah memungkinkan sekali untuk mendirikan dan memiliki sebuah museum yang lengkap dan besar untuk kemudian menjadi bukti bahwa para pendiri dan ulama Al Washliyah memiliki tradisi intelektual yang luar biasa kokoh. Tentu, Al Washliyah perlu mendukung usaha pengumpulan dan pengoleksian sumber-sumber terbitan organisasi sejak tahun 1930-an dimana sumber-sumber itu tersebar di berbagai negara.
Saya menegaskan bahwa sumber-sumber primer perlu menjadi acuan untuk mengetahui sejauhmana intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah. Sumber-sumber ini juga kerap saya jadikan referensi dalam berbagai kegiatan penelitian saya, di antaranya adalah (1) Keringkasan Riwajat Hasil dan Oesaha Pekerdjaan Al Djamijatoel Washlijah Selama 5 Tahoen Moelai Tanggal 30 November 1930–30-11-1935, (2) Hari Peringatan Ulang Tahun ke XX Al Djamijatul Washlijah 30 Nopember 1930-30 Nopember 1950 karya Abdurrahman Sjihab, (3) 21 Tahun Al Dj. Washlijah 30 Nov.1930-30 Nov. 1951, (4) Chutbah Pengurus Besar Memperingati Ulang Tahun Al Djamijatul Washlijah Seperempat Abad 30 November 1930-30 November 1955 karya Udin Sjamsuddin, (5) Peringatan Al Djamijatul Washlijah 1⁄4 Abad 30 Nopember 1930-30 Nopember 1955, dan (6) Al Washliyah karya Nukman Sulaiman. Selain itu, tiga majalah terpenting yang harus menjadi acuan adalah Medan Islam, Dewan Islam dan Soeara Al Djamijatoel Washlijah. Ada banyak buku dan artikel lain yang layak menjadi acuan untuk mengetahui sejarah Al Washliyah, khususnya intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah.
Tentu saja, untuk mengetahui secara detail perihal tema ini, saya juga mengungkapkan pentingnya membaca sumber-sumber sekunder tentang Kealwashliyahan. Maksud sumber sekunder di sini adalah kelompok buku, artikel dan laporan penelitian yang ditulis oleh para peneliti Al Washliyah. Jumlah sumber-sumber seperti ini sangat signifikan. Al Washliyah memang sudah menarik perhatian para peneliti terutama sejak tahun 1990-an sampai saat ini. Koran-koran berbahasa Indonesia dan Belanda juga banyak memberikan informasi mengenai intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah, di antaranya Sinar Deli, Pewarta Deli, Algemeen Indisch Dagblad, Bataviaasch Nieuwsblad, De Sumatra Post, Deli Courant, Det Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsche-India, Het Nieuwsblad voor Sumatra, Java Bonde, Nieuwsgier, dan Soerabaijasch Handelsblad. Saya juga menegaskan bahwa sumber-sumber Kealwashliyahan sangat melimpah, meskipun tidak semuanya sudah berhasil dikumpulkan dan masih tersebar di berbagai tempat, termasuk di luar negeri. Al Washliyah berpotensi memiliki sebuah museum berskala nasional dengan khazanah literatur yang melimpah dan bernilai historis.
Siapa Pendiri Al Washliyah?
Sebelum memasuki tema intelektualitas dan nasionalisme pendiri Al Washliyah, saya mengajak peserta untuk mendiskusikan ulang terkait siapa saja yang merupakan pendiri Al Washliyah. Tidak sedikit kader Al Washliyah yang masih memperdebatkan terkait nama-nama yang layak disebut pendiri Al Washliyah. Bahkan masih ada juga yang keliru menyebutkan nama pendiri Al Washliyah, misalnya Syekh Hasan Ma’shum dan Adnan Lubis an-Nadvi yang dikira sebagai pendiri, padahal keduanya bukanlah pendiri Al Washliyah. Saya jelaskan bahwa kita harus merujuk tulisan-tulisan para pendiri Al Washliyah atau murid-murid mereka untuk mengetahui siapa saja yang masuk dalam jajaran pendiri Al Washliyah. Sebab, merekalah yang mengetahui siapa saja yang terlibat dalam pendirian Al Washliyah.
Dalam acara ini, saya mengutip dan menunjukkan pendapat H. Abdurrahman Sjihab, H. Nukman Sulaiman, dan H. Hasbullah Hadi, selain juga menampilkan pandangan saya mengenai hal ini.
H. Abdurrahman Sjihab dalam artikelnya yang berjudul “Memperingati Al Djam’ijatul Washlijah 21 Tahun 30 November 1930-30 November 1951” halaman 2 menyebutkan “pembangun dan pelopor Al Jam’iyatul Washliyah terdiri dari pelajar-pelajar Maktab Al-Islamiyah Tapanuli yang dipimpin oleh Almarhum Syekh Muhammad Yunus dan Almarhum Syekh Ja’far Hasan, dan pelajar-pelajar Madrasah Al Hasaniyah yang dipimpin oleh Almarhum Syekh Hasan Ma’shum.” Penyataan ini memang masih sangat umum dan tidak merinci nama-nama yang merupakan pendiri Al Washliyah.
Tetapi, H. Nukman Sulaiman, murid para pendiri Al Washliyah, pernah menjelaskan masalah ini secara detail dalam bukunya yang berjudul Al Washliyah jilid 1 yang diterbitkan di Medan oleh Pustaka Azizi pada tahun 1967 halaman 8 dan 9. Ia menyatakan bahwa pembangun-pembangun Al Washliyah yang pertama adalah H. Abdurrahman Sjihab, H. Ismail Banda, M. Arsjad Th. Lubis, H. Sjamsuddin Said, H. A. Malik, Abdul Aziz Effendy, Mhd. Nurdin, Adnan Nur Lubis, H. Abdul Wahab Lubis, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Ya’kub, O.K. H. Abdul Azis, H. Letkol. Baharuddin Ali, Usman Deli, dan Syekh Muhammad Yunus. Dari informasi ini juga diketahui bahwa tidak semua pendiri Al Washliyah berprofesi sebagai ulama, tetapi ada juga yang berprofesi sebagai politisi, militer dan pengusaha.
Saya kemudian menampilkan pandangan H. Hasbullah Hadi yang termuat dalam tulisannya yang berjudul “Menyingkap Sejarah Pendiri Al Washliyah” (Medan: UNIVA Medan, 2015) halaman 40-41. Ia menyatakan bahwa mereka yang dapat dikategorikan sebagai pendiri Al Washliyah adalah Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab, M. Arsjad Th. Lubis, Adnan Nur Lubis, M. Yusuf Ahmad Lubis, Kular (Syamsuddin Said), Sulaiman, M. Isa, A. Wahab, M. Ja’kub, Abdul Malik, Abdul Azis Effendy, Mohd. Nurdin dan Syekh Muhammad Yunus. Ia kemudian melanjutkan bahwa beberapa nama begitu populer disebut sebagai pendiri Al Washliyah, yakni Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab, M. Arsjad Th. Lubis,
Adnan Nur Lubis dan M. Yusuf Ahmad Lubis.
Dalam buku yang berjudul Al Jam’iyatul Washliyah: Sejarah dan Ideologi (2020) halaman 22-24, saya juga mengulas masalah ini. Saya menegaskan, berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber awal, bahwa ada delapan orang yang menjadi inisiator dan aktor intelektual yang merencanakan dan mempersiapkan rencana pendirian Al Washliyah yakni Abdurrahman Sjihab, Yusuf Ahmad Lubis, Adnan Nur Lubis, M. Isa, Ismail Banda, Abdul Wahab Lubis, Sjamsuddin (Kular) dan M. Arsjad Th. Lubis.
Kemudian, saya mengungkap bahwa dari sekian banyak pendiri dan tokoh awal Al Washliyah, baru lima figur yang ditulis. Mereka adalah M. Arsjad Th. Lubis, Yusuf Ahmad Lubis, Abdurrahman Sjihab, Ismail Banda, Adnan Nur Lubis dan Syekh Hasan Ma’shum (bukan pendiri Al Washliyah). Saya kemudian menyimpulkan bahwa (1) tidak semua pendiri Al Washliyah sudah dikenal, (2) tidak semua mereka yang sudah dikenal sudah diteliti secara mendalam, dan (3) banyak pendiri Al Washliyah yang masih belum
diteliti dan ditulis. Figur yang paling banyak mendapatkan perhatian selama ini adalah H.M. Arsjad Th.
Lubis. Tentunya, persoalan ini menjadi tugas seluruh konstituen Al Washliyah untuk secara bersama-sama mencari informasi tentang profil pendiri Al Washliyah lainnya yang sama sekali belum ditulis. Ini perlu dilakukan untuk menunjukkan peran dan jasa mereka dalam melestarikan dan mempertahankan Islam di Nusantara, dan dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Intelektualitas dan Nasionalisme Pendiri Al Washliyah
Mengingat tidak semua biografi para pendiri Al Washliyah telah diketahui dan ditulis, akhirnya kajian ini hanya akan memotret intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah yang sudah banyak ditulis secara akademik. Mereka adalah H. Abdurrahman Sjihab, H. Ismail Banda, H.M. Arsjad Th. Lubis dan H. Yusuf Ahmad Lubis. Dengan membaca biografi keempat tokoh ini, segera akan diketahui bahwa para pendiri Al Washliyah memiliki intelektualias dan nasionalisme yang mengagumkan.
Dengan membaca biografi para pendiri Al Washliyah, akan terlihat di antaranya adalah bahwa mereka belajar di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan/atau Madrasah Al-Hasaniyah. Di MIT, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Yunus, sedangkan di Madrasah Al-Hasaniyah mereka belajar kepada Syekh Hasan Ma’shum. Tidak jarang, mereka juga berguru kepada sejumlah ulama di Masjidilharam semasa menunaikan ibadah haji. Sekadar contoh, H. Abdurrahman Sjihab (w. 1955) belajar di (1) Maktab Islamiyah Tapanuli, (2) Madrasah Al-Hasaniyah dan (3) Masjidilharam. Di antara gurunya adalah Syekh Muhammad Yunus dan Syekh Hasan Ma’shum di Sumatera Timur; serta Syekh ‘Ali al-Maliki, Syekh ‘Umar Hamdan, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Amin al-Kutuby dan Syekh M. ‘Alawy di Masjidilharam, Makkah. Ia juga menghasilkan beberapa buku dan artikel, di antaranya (1) Mengoendjoengi Tanah Haram, (2) Pidato Agama di Radio dan (3) Biografie H. Abd. Rahman Sjihab.
Sedangkan berbagai artikelnya telah diterbitkan dalam majalah Medan Islam dan Dewan Islam. Ismail Banda (w. 1951) juga belajar di Maktab Islamiyah Tapanuli, tetapi kemudian ia melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-Shaulatiyah di Makkah, dan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir dalam bidang Filsafat. Ia meraih gelar Master of Arts dalam bidang Filsafat dari kampus ternama ini. Di antara gurunya adalah Syekh Muhammad Yunus saat belajar di MIT. Ia juga belajar kepada banyak ulama di Masjidilharam (Makkah) terutama kepada Syekh Hasan Masysyath, dan di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo. Sayang sekali, tidak diketahui siapa saja yang menjadi gurunya di Universitas al-Azhar, Kairo. Ia juga menghasilkan buku dan banyak artikel. Artikel-artikelnya diterbitkan dalam Medan Islam dan Dewan Islam.
H.M. Arsjad Th. Lubis (Tuan Arsjad) juga menghabiskan masa mudanya untuk belajar di beberapa madrasah yang ada di Sumatera Timur terutama di Madrasah Al-Hasaniyah dimana ia belajar kepada Syekh Hasan Ma’shum. Sudah ditemukan tidak kurang dari 55 karya Tuan Arsjad yang terdiri atas artikel dan buku terutama dalam bidang Alquran, Hadis, akidah, fikih dan usul fikih, sejarah dan perbandingan agama. Semua buku ini Alhamdulillah sudah berhasil saya koleksi, dan saat ini saya sedang merampungkan penulisan buku berjudul Biografi dan Karya H.M. Arsjad Th. Lubis yang lebih didasarkan pada seluruh karyanya dan majalah yang dipimpinnya, Dewan Islam. Buku ini direncanakan akan diterbitkan oleh LKSA pada tahun 2022.
Sebagaimana pendiri lainnya, H. Yusuf Ahmad Lubis juga belajar di Maktab Islamiyah Tapanuli dan Madrasah Al-Hasaniyah. Saat masih belia, ia berdomisili di Makkah, dan telah menghirup alam intelektual dan spiritual Tanah Suci. Saat ini, saya sudah menemukan 27 artikel karangan ulama ini, terutama dalam bidang fikih, akhlak dan perbandingan agama Islam dan Kristen. Selain itu, saya juga sudah menemukan sebanyak 54 buku karangannya dalam bidang tafsir Alquran, hadis, fikih, tasawuf,
filsafat Islam, perbandingan agama, sejarah, akhlak, dan politik. Dari semua karya mereka, saya dapat menyimpulkan bahwa para pendiri Al Washliyah menguasai hampir seluruh cabang ilmu keislaman.
Yang penting juga bahwa sanad keilmuan para pendiri Al Washliyah bersambung sampai kepada Imam al-Syâfi‘î, Imam Abû al-Hasan al-Asy‘arî dan Imam al-Bukhârî. Semua pendiri Al Washliyah adalah murid Syekh Hasan Ma’shum yang merupakan murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Guru Syekh Hasan Ma’shum lainnya adalah Syekh Ahmad Hayat, Syekh ‘Abd al-Hamîd al-Quddûs, Syekh ‘Utsmân Tanjung Pura, Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî, Syekh Saleh Bafadil, Syekh Sa‘id Yamanî, Syekh ‘Abd al-Karîm Dgestanî, Syekh ‘Ali Malikî, Syekh Muhammad Khayyath, dan Syekh Âmîn Ridhwân.
Demikian juga, para pendiri Al Washliyah adalah murid dari Syekh Muhammad Yunus yang merupakan murid Syekh ‘Abd al-Qadir bin Shabir al-Mandili. Syekh Hasan Ma’shum dan Syekh Muhammad Yunus belajar ilmu agama Islam di Haramain kepada semua ulama tersebut, dan guru-guru mereka itu memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai kepada para pendiri mazhab Syâfi‘i dan mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Secara rinci, masalah ini sudah saya ungkap dalam buku Tradisi Intelektual Al Washliyah yang terbit pada tahun 2015.
Dalam acara Ya Salam seri ke-26, saya juga mengungkap secara umum terkait nasionalisme para pendiri Al Washliyah. Dengan memodifikasi pandangan As’ad Said Ali (2012) dalam bukunya Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi, saya menyampaikan bahwa Al Washliyah merupakan kelompok Islam mainstream, karena telah lahir sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, mengedepankan sikap moderat, kooperatif dan tidak oposan serta bisa berakomodasi ke dalam negara nasional. Al Washliyah merupakan organisasi yang terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan merupakan pendiri negara-bangsa ini, dan karena itu Al Washliyah termasuk “pemegang saham” negara Republik Indonesia. Para pendiri Al Washliyah giat memajukan peradaban Islam melalui jalur pendidikan, dakwah dan amal sosial (sebelum kemerdekaan), merebut dan mempertahankan kemerdekaan (baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk menolak Negara Sumatera Timur) dan aktif mengisi kemerdekaan dengan menjadi birokrat dan politisi di level lokal maupun nasional.
Secara khusus, sebelum era kemerdekaan Indonesia, para pendiri Al Washliyah fokus untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. H. Abdurrahman Sjihab (1951) melaporkan bahwa empat tahun sebelum Indonesia merdeka, Al Washliyah sudah memiliki dan mengelola 225 unit Madrasah Tajhizi, 189 unit Madrasah Ibtidaiyah, 4 unit Madrasah Tsanawiyah, 1 unit Madrasah al-Qismul ‘Ali, 26 unit Sekolah Rakyat dan 4 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian, para pendiri Al Washliyah juga aktif merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Fatwa jihad Tuan Arsjad sebagaimana disebut dalam bukunya Toentoenan Perang Sabil menjadi satu di antara banyak bukti bahwa para pendiri Al Washliyah turut merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ismail Banda juga giat merebut dan mempertahankan kemerdekaan di luar negeri, dimana ia pernah menjadi Ketua Perpindom di Kairo, Mesir.
Pengakuan Mesir atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia juga merupakan hasil perjuangan dari Ismail Banda. Terakhir, para pendiri Al Washliyah juga sangat aktif mengisi kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengisi jabatan-jabatan strategis di level lokal dan nasional. H. Abdurrahman Sjihab, misalnya, pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Negara Republik Indonesia (NRI) dan Ketua Madjlis Sjuro DPP Partai Masjumi. Kemudian, H.M. Arsjad Th. Lubis, bersama tokoh Al Washliyah lain (H. Adnan Lubis, H. Bahrum Djamil dan Mahals), terpilih menjadi anggota Konstituante dari Fraksi Masjumi pada Pemilu tahun 1955. H. Udin Sjamsuddin juga terpilih menjadi anggota DPR-RI dan pernah berpolemik dengan D.N. Aidit di Parlemen. Ismail Banda berafiliasi dengan Partai Masjumi dan kemudian ditugaskan sebagai Charge d’affaires di Iran & Afghanistan. Saya menegaskan bahwa para pendiri Al Washliyah adalah nasionalis sejati yang tidak perlu diragukan.
Pada sesi terakhir, moderator dalam acara Ya Salam sesi ke-26, yakni Dr. Zaini Dahlan, M.Pd.I., membuka sesi tanya jawab, dan sebanyak tiga tokoh Al Washliyah memberikan respons terhadap paparan yang saya sampaikan, yakni Ustaz Ahmad Hamim Azizy, Dr. Abdul Mun’im Ritonga dan Dr. Ismed Batubara. Ustaz Hamim menyampaikan bahwa banyak sumber Kealwashliyahan yang terbit belakangan dan perlu menjadi bacaan mutakhir bagi konstituen Al Washliyah, termasuk karangannya tentang politik Al Washliyah. Dr. Mun’im kemudian menyampaikan bahwa saat ini kita selalu menyebut nama para pendiri Al Washliyah dalam berbagai kegiatan organisasi, tetapi cenderung mengabaikan tokoh-tokoh Al Washliyah selain pendiri yang juga sangat berjasa bagi pengembangan organisasi.
Menurutnya, kita perlu meneliti dan mengenalkan kepada publik tentang keberadaan tokoh-tokoh Al Washliyah tersebut. Selain itu, Dr. Mun’im juga menyebutkan dan mempertanyakan perihal pemikiran para pendiri Al Washliyah yang tidak dikenal oleh publik. Sedangkan Dr. Ismed meminta bahwa penetapan nama-nama pendiri Al Washliyah harus didasarkan pada teori dan konstruksi ilmiah, dan memberikan saran kepada Pengurus Besar Al Washliyah untuk mengadakan seminar nasional terkait penetapan nama-nama pendiri Al Washliyah berdasarkan teori dan konstruksi ilmiah, dan kemudian membuat rumusan keputusan organisasi mengenai hal ini. Setelah sesi tanya jawab, Ketua Umum PB Al Washliyah, Dr. Masyhuril Khamis juga memberikan komentar. Ia menyatakan bahwa apa yang dipaparkan oleh narasumber telah membuka wawasan dan mengembalikan memori warga Al Washliyah tentang intelektualitas dan nasionalisme pendiri Al Washliyah.
Selain memberikan apresiasi kepada narasumber, ia menilai bahwa penting untuk menindaklanjuti diskusi tentang penetapan nama-nama pendiri Al Washliyah. Ia juga memiliki program yang sudah lama direncanakan, yakni menelusuri sumber-sumber otentik terkait sejarah pendirian Al Washliyah yang diketahui berada di sejumlah perpustakaan di Belanda. Ia juga mendukung cita-cita untuk mendirikan perpustakaan Al Washliyah dan berharap warga Al Washliyah berkenan menginfakkan literatur-literatur mengenai Al Washliyah yang mereka miliki kepada organisasi.
Kegiatan Ya Salam seri ke-26 ini diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Ustaz Ahmad Hamim Azizy. Nashrun minallâh wa fathun qarîb, wabasysyiril mu’minîn.
Dr. Ja’far, M.A.
- * Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe, Aceh.
- * Ketua Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Periode 2021-2026.
*Materi dalam artikel ini telah dipresentasikan pada acara Ya Salam yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Senin, 15 November 2021.
Sumber Berita : https://washliyah.or.id/blog/2021/11/22/jejak-intelektualitas-dan-nasionalisme-pendiri-al-washliyah/